


Oleh: KH Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok
Al-Qur’an menyebut LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sebagai perbuatan yang belum pernah ada sebelumnya di dunia. “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS. al-A’raf/7: 80).
Ini kecaman Allah terhadap perbuatan LBBT, yakni fahisah. Fahisah itu sendiri maknanya, bagi pengarang Tafsir Jalalain, adalah mendatangi (menyetubuhi) dubur atau anus laki-laki atau yang dikenal dengan istilah sekarang sebagai sodomi. Sedangkan labeling bagi pelaku LGBT adalah musrifun atau melampaui batas.

Soal ini Allah tegaskan, “Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” (QS. al-A’raf/7: 81). Menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, kaum musrifun adalah kaum yang melampaui halal sehingga perbuatan mereka jadi haram.
Pertanyaannya, bagaimana perspektif dakwah tentang LGBT dan seperti apa langkah-langkah menghadapinya? Kita tahu dakwah mengenal empat perspektif, di antaranya: pendekatan dakwah, strategi dakwah, metode dakwah, dan teknik dakwah. Secara metodologis, keempat perspektif dakwah ini dapat menganalisis problem LGBT yang saat ini sedang naik daun.
Dengan pendekatan dakwah kita bisa menggunakan cara pandang kita soal LGBT. Apakah LGBT termasuk problem sosial, budaya atau agama? Karena yang kita gunakan adalah pendekatan dakwah, maka dapat dipastikan bahwa LGBT termasuk problem agama. Di samping tentunya jadi problem sosial dan budaya. Untuk itu, tampaknya kita juga membutuhkan ilmu bantu untuk membahas LGBT, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan kebudayaan.
Kedua, dengan strategi dakwah kita dapat membuat perencanaan yang terukur dan terstruktur menghadapi LGBT. Apakah strategi dakwah tersebut bersifat personal, rasional, atau spiritual? Tampaknya, kalau dipahami bahwa masalah LGBT ini domain agama, maka strategi yang paling tepat direncanakan adalah strategi spiritual, di samping bisa diikutsertakan juga strategi personal dan rasional. Secara praktik, dalam strategi personal diperlukan ilmu bantu seperti psikologi.
Ketiga, dengan metode dakwah. Metode ini hendak menjawab pertanyaan how to operate? Artinya, metode ini berupaya memilih cara yang tepat untuk mem-break-down strategi dakwah spiritual di atas.
Secara teologis, kita diperkenalkan tiga metode dakwah yang built-up dari langit, yakni metode dakwah bil hikmah, nashihat yang baik, dan diskusi. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. al-Nahl/16: 125).
Menurut pengarang Tafsir Jalalain yang dimaksud dengan bil hikmah adalah berdasar petunjuk al-Qur’an sedangkan nasihat yang baik tak lain adalah nasihat yang lembut. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa dalam perspektif dakwah, langkah-langkah menghadapi LGBT adalah dengan pendekatan agama, dengan strategi spiritual, dan dengan metode bil hikmah dan nasihat yang lembut.
Ketiga perspektif di atas berujung pada langkah praktik, yakni teknik dakwah dalam menghadapi LBGT di lapangan yang bisa disusun mulai dari langkah A hingga Z yang terukur, terstruktur, murah dan mudah. Pada tataran ini diperlukan ilmu bantu seperti psikologi, pendidikan, dan manajemen.*

