


Oleh: Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok
Argumen kesetaraan agama bermula dari ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah/2: 62). Tapi tampaknya ayat ini disalahpahami.
Sebenarnya ayat di atas merupakan argumen ketidaksetaraan agama. Pertanyaannya, benarkah Islam, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin setara? Lalu apa perbedaan di antara mereka. Termasuk, bagaimana sebenarnya setting sosio-historis turunnya ayat tersebut supaya dapat dipahami dan tidak menimbulkan kontroversi?

Pengarang Tafsir Jalalain, memahami ayat di atas seperti ini, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian pada masa Nabi Muhammad”. Pertanyaannya, bagaimana apabila mereka pada masa datangnya Nabi Muhammad masih jadi Yahudi, Nasrani, dan Shabiin?
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak pula suatu perbuatan, kecuali cara dan perbuatan itu sesuai dengan syariat Nabi Muhammad sesudah beliau diutus membawa risalah. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan yang sesuai dengan rasul yang diikuti. Misalanya, orang Yahudi sebagai pengikut Nabi Musa mereka memegang teguh kitab Taurat di zamannya. Begitu juga orang Nasrani sebagai pengikut Nabi Isa.
Dalam konteks seperti ini berlaku argumen bahwa kaum muslim itu berlaku secara berkesinambungan mulai dari zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Mereka beriman kepada Allah dan menjalankan syariat para Nabi pada zamannya. Umat Nabi Musa harus bergabung menjadi umat Nabi Isa, ketika Nabi Isa diutus. Pun umat Nabi Isa harus bergabung menjadi umat Nabi Muhammad, setelah beliau diutus.
Oleh karena itu frasa, “beramal saleh” oleh pengarang Tafsir Jalalain diinterpretasi sebagai syariat yang sesuai dengan syariat Nabi Muhammad sebagai penyempurna syariat para Nabi sebelumnya, seperti syariat Nabi Musa dan Nabi Isa. Sebab syariat para nabi tidak bertentangan satu sama lain karena sama-sama built up dan taken for granted dari Allah. Menariknya, menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, kata “beriman” tidak hanya beriman kepada Allah, tapi juga beriman terhadap diutusnya Nabi Muhammad.
Lalu bagaimana dengan kaum Shabiin? Menurut Syaikh Nawawi, mereka adalah para pembaca kitab Zabur yang diberikan kepada Nabi Daud. Hanya saja, mereka menyembah para malaikat. Namun mereka pernah mengatakan, “Hati kami telah kembali kepada Allah”. Maka tak salah kalau Wahab bin Munabbih mengatakan, seperti dikutip Ibnu Katsir, bahwa mereka bukan pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula orang-orang musyrik.
Secara sosio-historis, menurut Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubabun Nuqul, ayat di atas turun terkait teman-teman Salman al-Farisi sebelum masuk Islam. Artinya, bagi Syaikh Nawawi, Salman al-Farisi dan teman-temannya seperti Bukhairah al-Rahib, Abu Dzar al-Ghifari, dan lain-lain yang beriman kepada diutusnya Nabi Muhammad mereka akan mendapat pahala dari Allah.
Asal saja mereka sebelumnya beriman kepada Allah dan mengikuti syariat Nabi Isa pada masa kekosongan kenabian (fatrah). Demikian halnya umat Yahudi pada zaman Nabi Isa. Sepanjang mereka beriman kepada Allah dan beriman terhadap diutusnya Nabi Isa mereka akan mendapat pahala.*

