HeadlineKHUTBAH JUMAT

Khutbah Jumat: Rasionalisasi Niat Puasa Ramadhan

Oleh: KH Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren
Darul Akhyar Kota Depok

Dalam sebuah hadits yang terkenal dan fenomenal, Nabi bersabda, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang telah dia niatkan” (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan niat dalam hadits ini termasuk niat puasa Ramadhan.

Pertanyaannya, apakah niat itu? Menurut Syaikh Salim bin Sumair dalam Safinatun Najaa, niat adalah menyengaja sesuatu berbarengan dengan melakukannya. Tempat niat ada di hati. Melafadzkan niat hukumnya sunah. Menurut Syaikh Nawawi dalam Nihayatuz Zain, tujuan melafadzkan niat adalah untuk membantu hati.

Jadi ada salah kaprah soal niat. Yang selama ini disebut niat puasa Ramadhan tak lain adalah lafadz (bacaan) niat puasa Ramadhan. Niat puasa Ramadhan itu sendiri di dalam hati berbarengan dengan diawalinya puasa. Niat puasa Ramadhan harus sebelum fajar, berbeda dengan niat puasa sunah.

Lafadz niat puasa yang terkenal adalah yang dicomot dari karya Syaikh Zainuddin al-Malibari, yakni Fathul Mu’in. Lafadz niat itu adalah, “Nawaitu Shauma Ghadin ‘An Ada’i Fardisy Syahri Ramadhani Hadzihis Sanati Lillahi Ta’ala”. Para ahli bahasa Arab membolehkan dibaca “Ramadhani” atau “Ramadhana” dengan argumentasi gramatika masing-masing.

Bila dikaji secara seksama, lafadz niat puasa Ramadhan ini mengandung beberapa komponen yang rasional. Pertama, lafadz “Nawaitu Shauma Ghadin” mengindikasikan bahwa niat dilaksanakan pada malam hari (tabyitun niyyah) untuk berpuasa besok. Batasan malam adalah sebelum terbitnya fajar. Niat yang dilakukan sesudah fajar tidak direkomendasi Nabi, “Barangsiapa yang tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya”(HR. Abu Daud).

Kedua, lafadz “Fardisy Syahri Ramadhani” mengindikasikan bahwa puasa yang akan dilaksanakan harus ditentukan, yakni puasa Ramadhan. Inilah yang disebut ta’yinun niyyah. Ketiga, lafadz “Lillahi Ta’ala” mengindikasikan bahwa puasa yang dilaksanakan sejak fajar hingga tenggelamnya matahari dilaksanakan semata-mata untuk Allah, bukan puasa sosial atau puasa budaya. Inilah yang disebut dengan tahsinun niyyah.

Kembali pada hadits tentang niat di atas, masuk akal bila perbuatan apa saja tergantung niat. Termasuk niat puasa Ramadhan yang harus dilakukan pada malam hari, memastikan jenis puasa yang dilakukan, dan dilaksanakan karena Allah saja. Selain itu niat puasa Ramadhan harus dilakukan bagi pengikut Imam Syafi’i setiap malam selama Ramadhan. Karena hari-hari di bulan puasa itu terpisah yang ditandai dengan berakhirnya siang. Inilah satu hari berpuasa di siang hari yang berdiri sendiri.*

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button