


Oleh: KH Syamsul Yakin
Pengasuh Pondok Pesantren
Darul Akhyar Kota Depok
Kita dituntut untuk menafsir ibadah puasa dalam wujud yang kontekstual di arus deras perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia, puasa sejatinya adalah pendidikan semesta agar kita menjadi bangsa bertakwa. Inilah harapan Allah SWT kepada alumni madrasah puasa, seperti difirmankan-Nya, “… agar kalian bertakwa” (QS. al-Baqarah/2: 183).
Bertakwa, menurut pengarang Tafsir Jalalain, adalah menjaga diri dari maksiat. Alasannya, karena puasa mampu membendung syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi segala maksiat. Oleh karena itu orang yang berpuasa harus merepresentasikan pribadi yang senantiasa berbuat baik, humanis, dan populis.

Bangsa yang beriman dan bertakwa pada gilirannya akan menjadi bangsa yang berlimpah berkah. Allah SWT janjikan itu semua, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …” (QS. al-A’raf/7: 96). Inilah bentuk transformasi puasa dalam kehidupan berbangsa.
Allah SWT berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (QS. al-Hujurat/49: 13).
Oleh karean itu, untuk membangun bangsa yang besar diperlukan kesadaran di dalam hati. Takwa itulah, menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, yang membangkitkan kesadaran di dalam hati. Pertama-tama dimulai dengan kesediaan menunaikan ibadah puasa sehingga terbiasa taat dan tidak maksiat.
Jadi dapat dikatakan bahwa titah Allah SWT kepada kita agar menjalankan ibadah puasa semata untuk kepentingan manusia. Hal ini bertolak-belakang, misalnya seperti ditulis Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, dengan apa yang disangkakan orang-orang Wasani. Menurut mereka puasa bertujuan untuk membujuk-rayu dewa agar tidak murka.
Tak hanya itu, lanjut Ahmad Mushthafa al-Maraghi, puasa sering dilaksanakan untuk tujuan-tujuan keliru. Misalnya, menurut mereka, dewa bersedia mengabulkan permintaan mereka asal mereka menyiksa diri dan membunuh syahwat. Jadi dalam sejarah, puasa dipahami sebagai budaya manusia, kini tugas kita adalah mengembalikannya menjadi ajaran agama.
Bagi kita puasa adalah kesempatan besar untuk memperbaiki diri. Kita tahu watak dasar manusia adalah menyimpang, itulah mengapa puasa diperintahkan berkali-kali agar bertakwa. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka dibayang-bayangi (berbuat dosa) dari setan, mereka ingat kepada Allah …”(QS. al-A’raf/7: 201).
Memaknai ibadah puasa secara benar dapat membentuk bangsa bertakwa, yakni bangsa yang tangguh, kreatif, dan independen yang diharapkan tidak gentar melawan perilaku tiran dan otoritarian. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar …” (QS. al-Thalaq/65: 2).
Mari kita lanjutkan puasa kita dan tak putus-putusnya berdoa agar wabah korona yang melanda dunia secara pandemik ini dapat segera sirna. Di samping itu, yakinkan diri kita bahwa bahaya korona yang sering kita saksikan dalam berbagai media kalah hebat dari rasa gembira di hati kita dengan datangnya bulan puasa. Aamiin.

