HeadlineKHUTBAH JUMAT

Khutbah Jumat: Adab Berpakaian

Oleh: KH Syamsul Yakin
Pengasuh Ponpes Darul Akhyar

Budaya berpakaian membedakan manusia dengan hewan. Berpakaian jadi ciri makhluk beradab. Islam mengatur adab berpakaian sehingga pakaian tidak hanya berfungsi menutupi badan dari panas dan dingin, tapi juga keindahan, dan kehormatan. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan” (QS. al-A’raf/7: 32).

Namun, kata Syaikh Nawawi dalam Maraqi al-Ubudiyah, berbusana haruslah diniati untuk mematuhi perintah Allah yang tergores dalam al-Qur’an dan hadits, yakni menutup aurat. Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Perlu juga dipahami bahwa menutup aurat tidak harus berpakain kumal. Menutup aurat boleh dengan busana artistik, modis, dan menarik. Hal ini bisa dipahami dari pesan Nabi, “Sesungguhnya Allah suka melihat jelasnya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya” (HR. Turmudzi).

Kendati artistik dan modis, pakaian tidak boleh menyerupai busana lawan jenis. “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari).

Pakaian juga tidak boleh dari bahan transparan. Hal ini Nabi ingatkan, “Dua golongan penduduk neraka yang belum pernah aku lihat adalah kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya” (HR. Muslim).

Menutup badan semata karena tujuan keindahan akan menimbulkan sikap riya (ingin dipandang). Menurut Syaikh Nawawi, orang yang berpakaian karena riya akan merugi karena tidak mendapat pahala dan akan binasa karena masuk neraka.

Syaikh Nawawi berkompromi ihwal berpakaian untuk tujuan kehormatan. Menurutnya merupakan kebaikan berpakaian untuk tujuan kehormatan. Asal tidak didedikasikan untuk kehormatan pribadi melainkan kehormatan ilmu, ulama, dan agama. Secara hukum, alasan berpakaian untuk tujuan ini masuk kategori amalan akhirat.

Bahkan ada ulama yang menyerukan agar ilmu menjadi digdaya dan agung para ulama sepatutnya berpakaian lebih baik, bersorban lebih besar, dan berlengan tangan lebih longgar. Hal ini untuk membedakan ahli ilmu dengan orang-orang bodoh. Seruan semacam ini dilontarkan tidak hanya oleh Syaikh Nawawi dan Imam al-Ghazali, tapi juga oleh Imam Abu Hanifah.

Kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah berkata, seperti dikutip Syaikh Nawawi, “Besarkan sorban-sorban kalian, pun luaskan lengan baju-lengan baju kalian agar ilmu dan orang yang punya ilmu tidak dianggap remeh”. Tampak jelas di sini bahwa berpakaian dalam Islam bukan semata budaya manusia tapi ajaran agama yang bersumber dari Allah, Nabi, dan buah pikir para ulama.

Di atas segalanya, dengan alasan apapun pakaian yang digunakan untuk aktifitas apapun harus halal, baik bahannya maupun cara mendapatkannya.*

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button