Oleh: KH Syamsul Yakin
Wakil Ketua Umum MUI Kota Depok
Ada beragam rupa makna merdeka. Siapa saja bisa memotretnya dari sudut pandang yang dikehendakinya. Merdeka bagi rakyat jelata pasti berbeda dengan orang kaya. Pun bagi seorang ibu rumah tangga yang setiap hari terbelit tingginya harga kebutuhan pokok, kendati sekadar untuk makan seadanya. Merdeka juga berbeda maknanya bagi mereka yang bekerja di sub-sektor informal alias serabutan.
Pertanyaannya, seperti apakah merdeka dari sudut pandang Islam? Apakah kemerdekaan terkait dengan akidah, ibadah, dan muamalah yang dengan itu kebebasan tercipta dan kesejahteraan lahir dan batin tercapai?
Kalau dibaca sejumlah ayat dalan al-Qur’an, kemerdekaan meniscayakan adanya kebebasan mentauhidkan Allah dari belenggu berhala. Artinya merdeka adalalah terbebas dari politeisme kepada monoteisme. Pekik kemerdekaan itu dideklarasikan Allah, “Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa” (QS. al-Ikhlash/12: 1). Ayat yang turun di Mekah ini harus kembali diturunkan di negeri kita dengan beberapa argumen.
Pertama, untuk membangun sebuah negeri, seperti halnya Nabi, pembaruan yang pertama kali dilakukan adalah soal tauhid. Nabi mereformasi cara orang Arab Jahiliah bertuhan dari menyembah berhala kepada menyembah Allah.
Dalam konteks sosio-historis turunnya ayat di atas, seperti diungkap Ibnu Katsir dalam tafsirnya, terkait dengan perlawanan orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan orang Musyrik Mekah yang menentang gerakan monoteistis Nabi. Kadung orang-orang Yahudi berseru, “Kami menyembah Uzair anak Allah”. Orang-orang Nasrani mengatakan, “Kami menyembah al-Masih putra Allah”. Orang-orang Majusi bilang, “Kami menyembah matahari dan bulan”. Orang-orang musyrik menyatakan, ”Kami menyembah berhala”.
Namun sebesar apapun perlawanan mereka, Nabi berhasil memerdekakan bangsa Arab dari belenggu syirik, pagan, dan penyembahan berhala. Untuk memperteguh keimanan mereka, Allah meyakinkan, “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” (QS. al-Ikhlash/112: 2). Artinya, bagi orang beriman tidak ada lagi tempat bergantung dalam konteks apa saja, selain kepada Allah.
Kedua, untuk mempererat kohesi sosial dan kehidupan yang harmoni harus dipertegas kemerdekaan beribadah sesuai madzhab masing-masing di internal umat Islam. Tidak ada madzhab superior dan inferior sepanjang berpedoman pada sumber yang obyektif dan otoritatif. Soal ini bisa dipahami pada manthuq ayat, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (QS. al-Maidah/5: 48).
Kegaduhan seputar perbedaan madzhab ini menjadi belenggu kemajuan karena masing-masing merasa paling absah. Inilah hambatan budaya dalam beribadah yang menimpa umat Islam dalam waktu yang sangat lama. Ini pula yang menghambat ruang gerak sains dan teknologi karena orang Islam sibuk membela dan memperjuangkan golongan masing-masing. Akhirnya selama berabad-abad kebutuhan elektronik dan otomotif disuplai oleh bangsa lain yang notabene kafir. Pasokan militer dan medis umat Islam juga bergantung kepada mereka.
Ketiga, untuk membangun komunikasi dan kebebasan berekspresi diperlukan kebebasan bermuamalah. Maksudnya umat Islam boleh berada pada organisasi kemasyarakatan (ormas) dan partai politik apapun. Tidak ada ormas mayoritas dan minoritas, yang ada ormas yang dilarang di negeri ini. Kemerdekaan berpartai juga harus memberi pemahaman bahwa berbeda partai tidak akan menempatkan seseorang di surga atau neraka.
Dalam Islam bermuamalah tujuannya untuk saling kenal dan berkarya. Allah informasikan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal” (QS. al-Hujurat/49: 13).
Saling kenal-mengenal di sini tentu bukan hanya kepada manusia yang berbeda-beda, tapi pada ilmu dan kemajuan bangsa-bangsa yang berbeda-beda juga. Kemerdekaan bermuamalah diharapkan berujung pada kemajuan bangsa dan kemandirian anak negeri.*