


Kota Kembang | jurnaldepok.id
Ketua Fraksi Restorasi Nurani Bangsa (RNB) DPRD Kota Depok, Bernhard menegaskan, usulan Fraksi Gerindra DPRD Kota Depok tentang segera dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) tidak memiliki landasan yuridis.
“Raperda ini tidak memiliki dasar hukum dan alasan hukum yang tepat serta kabur. Kabur atau absurd dalam prespektif hukum dan harus ditolak,” ujar Bernhard kepada Jurnal Depok, Rabu (24/7).
Ia menambahkan, bahwa pembentukan Raperda tersebut tak memiki landasan yuridis dan tidak beralasan secara hukum.


“Bahwa masalah LGBT itu tak perlu diatur dalam Perda atau secara normatif. Apalagi peraturan Undang-Undang tentang LGBT belum ada dan dapat dipastikan akan menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari,” tukasnya.
Ia menjelaskan, masalah LGBT bukan suatu perbuatan tindak pidana. Karena, kata dia, seorang menjadi LGBT bukanlah suatu keinginan melainkan sudah kondratnya.
“Apa yang mau diatur dalam Perda LGBT itu, dan menyangkut apa kontensnya. Bagaimana hukum efektif bekerja untuk menjaring seorang LGBT melakukan tindakan orientasi seks menyimpang, karena itu bersifat privat, enggak usah bicara soal LGBT,” paparnya.
Ia mencontohkan, bahwa suami atau istri yang diduga melakukan selingkuh dengan pasangan yang bukan istri atau suaminya, dan tak ada yang mengetahuinya, apa bisa dipidana?.
“Kecuali ada pengakuan dari si istri atau si suami yang diikuti fakta – fakta atau bukti yang valid. Permasalahan LGBT hanya bisa diselesaikan lewat gerakan moral oleh organisasi masyarakat sipil atau organisasi keagamaan, atau lewat rumah ibadah. Begitu banyak di negeri ini waria (termasuk LGBT,red) yang mereka menjajakan diri di pinggir jalan. Apa kita bisa menangkapnya atau mengatakan bahwa dia telah melakukan tindak pidana perbuatan asusila dengan manusia sejenisnya,” jelasnya.
Contoh lain, sambungnya, seorang Gay atau lesbian diduga melakukan tindak pidana asusila dengan pasangan Gay atau lesbiannya. Apakah itu dapat dihukum?.
“Aturan hukuman pidana mana yang dapat menghukum dalam KUHP. Bagaimana kalau LGBT masuk ke rumah ibadah ke gereja, apa harus ditolak. Apa pendeta atau pastor harus menolaknya?,” tanyanya.
Yang terpenting, kata dia, saat ini adalah bagi masyarakat bagaimana mencegah penyimpangan prilaku seks para LGBT.
“Tetapi jangan sekali-kali kita menghukum eksistensi para LGBT sebagai manusia atau mengisolasi mereka dari pergaulan sehari-hari,” terangnya yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Politik Kota Depok.
Sebelumnya, pada pertengahan November 2018 lalu Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Depok mengusulkan agar pemerintah kota segera membuat Peraturan Daerah tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Hal itu menindak lanjuti pembahasan RAPBD 2019 yang lalu, ketika Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata menganggarkan anggaran pembinaan Anti Narkoba, Anti Miras dan Anti LGBT.
“Polemik tentang LGBT yang kini sangat gencar di Indonesia dan sudah masuk ke Kota Depok, dimana sudah tercatat kurang lebih ada 1.500 orang Gay di Kota Depok. Kondisi seperti ini sangatlah memprihatinkan,” ujar H Mohammad HB, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Depok yang disampaikan Sekretaris Fraksi, Hamzah.
Ia menambahkan, hal itu diduga merupakan sebuah serangan oleh pihak pihak tertentu dengan tujuan ahir adalah menghancurkan generasi muda, sehingga generasi muda menjadi lemah dan tidak berdaya, kemudian lama kelamaan peradaban terkikis dan hancur.
“Persoalan LGBT ini merupakan sebuah penyakit penyimpangan seksual tidak wajar, jika dibiarkan akan meracuni generasi penerus bangsa. Selain merusak moral dan peradaban, tentunya merusak kesehatan bangsa, oleh karena itu LGBT harus diperangi dengan cara kita membentengi wilayah dengan Peraturan Daerah,” paparnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintah dan DPRD tidak boleh tinggal dalam menyikapi persoalan ini. LGBT harus menjadi perhatian khusus Pemerintah Kota Depok dan segera harus melakukan berbagai macam upaya untuk menyelamatkan kota dari serangan LGBT. n Rahmat Tarmuji

